Friday 12 November 2010

Candi Bumi Ayu


Update : 13 September 2012

Candi Bumi Ayu merupakan satu-satunya kompleks candi yang ada di wilayah Sumatera Selatan, tepatnya di desa Bumi Ayu, Kecamatan Tanah Abang, sekitar 85 km dari Kabupaten Muara Enim. Sekitar 85 km dari Muara Enim. Candi-candi di Bumiayu merupakan death monument, artinya monumen yang telah ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Candi tersebut ditinggalkan mungkin seiring dengan terdesaknya kekuatan politik Hindu oleh Islam pada sekitar abad ke-16. Kemudian candi-candi itu rusak dan terkubur tanah hingga ditemukan kembali oleh E.P. Tombrink tahun 1864. 

Tinggalan monumental candi Bumi Ayu beserta sistem budayanya sebenarnya sudah benar-benar hilang pula dari ingatan kolektif pewarisnya. Hal itu tampak bahwa penduduk Bumiayu tidak mengenal fungsinya semula, bahkan mereka sebenarnya tidak mengenal istilah candi. Cerita penduduk yang dicatat oleh A.J. Knaap tahun 1902 menyatakan bahwa apa yang sekarang disebut candi di Bumiayu itu diyakini sebagai bekas istana sebuah kerajaan yang disebut Gedebong Undang. Masih berdasarkan cerita rakyat, wilayah kerajaan tersebut sampai di Modong dan Babat. F.M. Schnitger melaporkan bahwa di kedua desa tersebut terdapat pula tinggalan agama Hindu (1934:4), meski kini telah hilang terkena erosi Sungai Lematang.

Selama ditinggalkan oleh pendukungnya, Candi Bumiayu banyak mengalami kerusakan, baik yang disebabkan oleh proses alam dan terutama oleh tangan manusia. Masyarakat yang tinggal di sekitar Candi Bumiayu belum menyadari tinggalan tersebut sebagai pusaka warisan leluhurnya yang harus dilestarikan. Sebagai buktinya, digunakannya bata candi, baik polos maupun berelief, untuk bangunan pemakaman dan masjid di desa setempat. 

Bangunan candi terbuat dari bahan tanah liat yang dibakar dengan suhu tertinggi tidak lebih daripada 1000o C (suhu tertinggi pembakaran tembikar) yang bersifat mudah pecah (fragile) dan rapuh. Dengan suhu tersebut butiran-butiran tanah liat belum mengalami pelelehan, baik di bagian permukaan maupun seluruhnya, serta berpori. Dalam keadaan demikian ikatan antarbutiran belum sekuat porselen serta bersifat menyerap air. Proses pelapukan bangunan candi berlangsung dalam pergantian musim hujan dengan kemarau. Selain itu, keadaan bata yang tinggi kelembabannya akan mengakibatkan tumbuhnya lumut, jamur, dan ganggang yang mempercepat proses pelapukannya. Oleh karena itu, bangunan candi ini juga dilengkapi bangunan cungkup. 
 
Keadaan bangunan yang mudah retak dan rapuh tidak memungkinkan pengunjung menginjak atau menaiki bangunan candi. Tekanan beban dari tubuh manusia, apalagi berulang-ulang, dapat mengakibatkan retaknya bata. Permukaan bata pun menjadi aus karena abrasi dari gesekan kaki pengunjung. Keausan akan berlangsung lebih cepat bila kaki pengunjung menggunakan alas atau sepatu yang dibuat dari bahan yang keras. Untuk mencegah kemungkinan yang tidak diharapkan itu, dibuatlah sistem pengamanan yang menjamin keselamatan candi.

Untuk mencapai lokasi candi, dapat ditempuh melalui jalan darat selama 1,5 jam dari Muara Enim. Kompleks candi ini terdiri dari 9 candi, 4 diantaranya sudah dipugar, yaitu candi 1, candi 2, candi 3, dan candi 8.

Usaha pelestarian sudah dimulai sejak 1990 dengan dukungan dana dari APBN. Guna mendukung usaha pelestarian candi ini, pemerintah daerah Kabupaten Muara Enim melakukan pembebasan tanah, pembangunan jalan, dan gedung museum lapangan.

Kompleks candi Bumi Ayu menempati areal seluas 75,56 Ha. Bagian luarnya dibatasi dengan 7 buah sungai parit, yang sebagian diantaranya sudah mengalami pendangkalan.
Candi Bumi Ayu, saat ini masih dalam proses pengkajian dan pemugaran, sehingga banyak informasi yang belum dapat diketahui, demikian juga dengan informasi-informasi tertulis yang ada, ini saat masih dipelajari oleh Tim Pengkajian Peninggalan Purbakala Propinsi Sumatera Selatan.

Penemuan kompleks candi ini diawali dengan ditemukannya enam reruntuhan bangunan dari bata, di tepi sungai Lematang, cabang sungai Musi, di desa Bumi Ayu. Penemuan ini pertama kali dipublikasikan oleh Tombrink tahun 1864 M. Tetapi baru menarik perhatian para ahli arkeologi tahun 1973, 1976 dan 1990-an. Dan baru mendapat perhatian serius dari para ahli arkeologi sejak 1991, dalam hal ini juga termasuk pemugarannya.

Bangunan candi 1, telah selesai dipugar. Candi ini berbentuk bujur sangkar berukuran 10,21 x 10,47 meter. Di bangunan reruntuhan candi I ditemukan 5 buah arca yang masing-masing bernama Agastya, Shiwa Mahadewa, arca Gajasimha, arca Nandi dan dua buah arca tokoh tanpa atribut kedewaan.

Di sisi Timur candi terdapat sebuah tangga yang menuju ke atas candi. Di sisi kiri-kanan candi ini dihiasi dengan pahatan berbentuk kereta yang ditarik oleh seekor singa. Di depan tangga terdapat sisa bangunan yang disebut Regol (Paviliun).

Bangunan candi 3 berbentuk segi delapan yang berdiri di atas kaki-kaki bangunan berbentuk bujur sangkar. Bangunan candi 3, sendiri sebenarnya merupakan kompleks candi yang terdiri satu candi induk dan tiga candi perwara. Keempat candi ini terletak di sisi Timur, Utara dan Selatan. Jika tangga yang menuju ke atas dijadikan sebagai pusat arah, maka candi ini pada dasarnya mengarak ke Timur Laut. Dari reruntuhan candi 3, ditemukan beberapa fragmen, seperti kepala arca berwajah raksasa (ugra), arca seorang perempuan yang sedang memegang ular, arca perempuan yang mengenakan untaian kalung tengkorak, dan arca-arca binatang.

Berdasarkan bentuk-bentuk bangunannya, kompleks candi Bumi Ayu, awalnya merupakan bagian dari umat Hindu dari aliran Shiwa (abad 9 – 10 M). Para ahli arkeologi menyatakan bahwa kompleks candi Bumi Ayu ini merupakan candi-candi Hindu terbesar yang ada di luar Jawa, yang diduga merupakan tiruan candi Prambanan di Jawa Tengah. Selanjutnya pada abad 10 – 12 M, masuk aliran Tantrisme (ajaran dalam agama Hindu dan Budha yang mengandung mistik dan magic) yang ditandai dengan ditemukannya bukti tulisan pada lempeng emas. Paham Tantrisme ini tampaknya terus berkembang sampai abad 13, dengan ditemukannya arca Camundi dan subauh raca singa yang sedang menarik kereta. Aliran ini pada umumnya berasal dari India atau kerjaan Singasari.

No comments:

Post a Comment